Mengupas Kelas Masyarakat di Pulau Tomia melalui KAWATI

Tomia merupakan salah satu pulau besar di Kepulauan Wakatobi yang memiliki karakteristik kultur yang unik. Secara umum, masyarakat di Tomia terbagi menjadi tiga Kawati (suku) yaitu Kawati Timo, Kawati Tongano, dan Kawati Waha. Masing-masing kawati tersebut memiliki karakteristik sendiri yang menjadi ciri khasnya masing-masing. Kawati bukan istilah untuk menyebut bagaimana sebenarnya posisi administratif dalam pemerintahan melainkan suatu sistem adat yang sudah ada sejak jaman nenek moyang. Walaupun masing-masing kawati terdiri dari beberapa desa dan memiliki batas wilayah adat yang jelas. Selain karakteristik masing-masing Kawati yang khas, cara mudah untuk menentukan bagaimana seseorang berasal dari Kawati mana adalah melalui bahasa yang digunakan. Ya, karena masing-masing Kawati memiliki bahasa yang berbeda-beda.

Kawati Timo (4 desa)
Masyarakat kawati ini sebagian besar bekerja sebagai petani darat yang menghasilkan sayur-sayuran, umbi, maupun buah-buahan dan sebagian kecil lainnya bekerja sebagai nelayan. Karakteristik bentang alam yang berbukit menjadi salah satu faktor yang berperan dalam hal ini. Sebagai petani, masyarakat Tomia masih memegang teguh prinsip gotong royong dengan kuat dibandingkan dengan dua kawati lain. Karakter tersebut yang menjadi ciri khas kawati ini meskipun dari sisi ekonomi bisa dikatakan pertumbuhan ekonominya sedikit lambat. Selain ciri khas tersebut, di Tomia ada tari-tarian khas yang tidak ada di Kawati lain. Tokoh adat sangat dihormati dan menjadi panutan masyarakat karena dipandang mengerti sejarah dari Kawati mereka.
Kawati Tongano (9 desa)
Kawati ini bisa dikatakan borjuisnya pulau Tomia, setidaknya itu yang disampaikan oleh narasumber. Lebih jauh lagi dari hasil analisis diperoleh bahwa masyarakat Kawati Tongano sebagian besar bekerja sebagai saudagar (pelaut) yang melakukan aktivitas perdagangan antar pulau. Hal tersebut yang membuat pertumbuhan ekonomi di Kawati ini cukup tinggi, salah satu hal yang bisa menjadi indikator adalah banyak warga yang telah menunaikan ibadah haji. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi dan tipe pekerjaan yang dilakukan menumbuhkan ego yang tinggi di antara masyarakat kawati Tongano. Masyarakat Tongano lebih individualistis dan mementingkan segala yang dilakukan dalam masyarakat dari segi keuntungan ekonomis. Mereka lebih mudah menerima budaya yang berasal dari luar. Tokoh adat dalam kawati ini hanya berperan dalam urusan yang berhubungan dengan ritual adat saja, berbeda dengan Kawati Timo dimana tokoh adat juga bisa menjadi mediator konflik yang terjadi di masyarakat.
Kawati Waha (9 desa)
Keinginan yang kuat untuk berkelompok adalah ciri khas dari Kawati Waha dilatarbelakangi perbaikan kehidupan ekonomi. Sampai saat ini ada dua kelompok nelayan besar yang ada di Kawati ini. Posisi geografis yang menguntungkan membuat sebagian besar anggota Kawati ini bekerja sebagai nelayan. Karakteristik masyarakat .
Tidak jarang terjadi konflik yang melibatkan tiga Kawati tersebut. Manifestasi konflik tampak jelas terlihat adalah baku hantam antar masyarakat pada saat menonton dangdut. Setelah ditelusuri ternyata kelompok yang terlibat baku hantam berasal dari kawati yang berbeda. Berdasarkan informasi narasumber salah satu hal yang menjadi landasan konflik adalah pemindahan ibukota kecamatan dari desa yang dulu masuk Kawati Tongano ke salah satu desa yang menjadi bagian dari Kawati Waha karena latar belakang keuntungan posisi geografis. Hal tersebut menimbulkan kecemburuan dalam masyarakat kawati Tongano sampai akhirnya pemerintah memekarkan Tomia menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Tomia (ibukota kecamatan ada di Kawati Waha) dan Kecamatan Tomia Timur (ibukota kecamatan ada di Kawati Tongano). (Achmad Mustofa)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IOTC Mengadopsi Proposal Pengelolaan Rumpon Apung

Kantong Plastik oh Kantong Plastik..

Badan Hiu Dicampakkan Begitu Saja setelah Siripnya Dipotong