Diskusi Interaktif: Perlunya Regulasi Tuna di Indonesia

Menghadirkan 4 narasumber yaitu Dr Toni Ruchimat, Dr Bambang, Dr Arief Satria, dan Ir Anang Noegroho serta satu orang penanggap yaitu Dr Herman Khaeroni, diskusi interaktif tentang Kebutuhan regulasi dalam tata kelola tuna di Indonesia.

Dr Arief Satria menyebutkan bahwa kondisi perikanan tangkap di dunia sudah parah, sekitar 15 persen saja yg masih exploitable. Walaupun begitu, Indonesia masih mendominasi dengan menjadi nomor 2 di dunia setelah China. FAO memberikan saran, bila berbicara data jangan merefer ke China karena tidak reliable. Saat ini kondisi perikanan di Indonesia terjadi peningkatan pada nilai ekspor.  Nilai paling tinggi dr RFMO adalah Pasifik, Atlantik, dan samudera Indonesia. RFMO adalah politik, banyak negara tidak memiliki akses langsung namun memiliki banyak kuota, seperti Jepang terhadap Southern Bluefin Tuna. Diskusi tidak hanya aspek teknis, namun politik sangat berpengaruh. Bila menjadi anggota, harus comply dengan resolusi RFMO.
"IOTC masih bergelut dalam kuota, mereka masih input (vessel) belum seperti CCSBT yang sudah Output (jumlah). IUU vessel list semakin meningkat dari tahun ke tahun di IOTC. Kuota masih jauh dari realisasi oleh Indonesia." Ujarnya.
Proses negosiasi di forum-forum internasional sudah bagus namun kemampuan penangkapan Indonesia menurun, perlu ditambah kapal longline untuk memanfaatkan sumberdaya di laut lepas/ ZEE.

Dr Toni Ruchimat dari Pusat Riset Perikanan menyebutkan bahwa perikanan tuna masih sangat perlu dikelola, FAO mensyaratkan bila ikan di ZEE dan bermigrasi atau trans-boundary harus dikelola bersama-sama antara negara² yg beririsan. Ada konvensi area pengelolaan yaitu Rfmo itu.

Permasalahan adalah Indonesia menjadi anggota rfmo telat padahal kontribusi Indonesia sekitar 16%. Seharusnya menjadi Anggota sejak lama, karena mungkin berpengaruh ke kuota dll. Aturan2 sudah banyak, UnCLOS, CCRF, permen, kepmen, dll.

"Permasalahan-permasalahan tuna internasional antara lain depletion, area overfished, big eye overfished, di area tertentu". Ujar Dr Toni.
Setiap tahun dibahas di rapat RFMO, ada komisi ilmiah pada masing-masing RFMO. Negara-negara anggota RFMO disarankan mengurangi fishing capacity nya. Kalau tidak menjadi anggota, ekspor dilarang dan penangkapannya harus di kepulauan. Kalau di ZEE dikategorikan IUU.

Permasalahannya adalah kuota didasarkan pada pencatatan atau pendataan tuna. Di Indonesia pendataan sedang bertransisi menjadi lebih baik. Kuota sempat naik, namun realisasi masih belum mampu. Kuota naik adalah diusulkan melalui proposal.
Traceability menjadi permasalahan yang wajib diaddress. Selain itu, permasalahn lain adalah:
FAD harus dilaporkan, legal, dan dipasang secara teratur, Catch/ ERS harus diatur juga, Fish laundrying terjadi di banyak negara, kapal dr Indonesia tidak ada yg beroperasi di Laut Lepas Pasifik. Ini berpengaruh juga untuk kuotanya.

Pak Bambang dr Lembaga Riset Perikanan Gondol menyebutkan bahwa kondisi populasi YFT menurun dan overfishing. Budidaya tuna dengan bibit hatchery menjadi solusi. 2016 Indonesia berhasil membenihkan tuna. Potensi cukup besar, dan membutuhkan investor. Telur dihasilkan dr keramba.

Bappenas, melalui Ir Anang Noegroho mendukung KKP. Membuat prioritas nasional karena uang negara ga banyak jadi harus dibuat prioritas. Kalau tidak masuk prioritas tidak akan dibiayai oleh pemerintah. Pengaturan oleh KKP sudah bagus, tapi jangan hanya pelarangan namun juga pengembangan. Ekonomi kedepan itu adalah bersifat sensing/ perasaan.  Perlu roadmap jelas untuk bisnis perikanan di Indonesia kedepan.

Tuna perlu ada regulasi tersendiri terpisah dr jenis ikan lainnya. Pengaturan rumpon, bila ada perubahan regulasi negara bisa update. Revisi undang-undang perikanan segera disubmit ke bappenas untuk dilihat kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IOTC Mengadopsi Proposal Pengelolaan Rumpon Apung

Kantong Plastik oh Kantong Plastik..

Badan Hiu Dicampakkan Begitu Saja setelah Siripnya Dipotong