Tradisi, Adat, dan Warisan Turun Temurun Terkait Penangkapan Ikan di Indonesia

Setiap daerah di Indonesia memiliki adat dan kepercayaan sendiri terkait dengan proses penangkapan ikan. Biasanya unik dan memiliki ciri khas sendiri. Keunikan dan kekhasan tersebut yang menjadi identitas dari masing-masing daerah, terutama karena perbedaannya. Perbedaan ciri khas tersebut muncul karena beberapa sebab diantaranya latar belakang agama, adat istiadat, dan warisan turun-temurun dari nenek moyang. 

Agama merupakan salah satu faktor kuat yang men-driven suatu tatanan yang ada di dalam masyarakat. Tuntunan agama meresap hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Ini merupakan nilai yang menjadi landasan dari norma. Lalu, apa hubungan nilai ini dengan ke-khasan suatu daerah dalam kaitannya dengan penangkapan ikan? Yap, pengaruh agama memiliki peran yang besar dalam tata cara penangkapan ikan di beberapa daerah di Indonesia. Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari suci dimana umat muslim terutama pria melaksanakan ibadah sholat Jumat. Oleh karena itulah nelayan dari beberapa daerah di Indonesia memilih libur pada hari Jumat, seperti Berau, Pangandaran dan beberapa daerah lain. Selain libur pada hari Jumat, mereka biasanya juga libur pada permulaan puasa, hari raya Idul Fitri / Idul Adha, dan syawalan. 

Selain agama, faktor yang juga mewarnai tatacara penangkapan ikan di Indonesia adalah adat istiadat. Salah satu adat istiadat yang kental di beberapa daerah adalah larung laut. Larung laut ini merupakan kiriman persembahan kepada penguasa laut agar diberikan hasil ikan yang melimpah dan perlindungan pada saat mereka menangkap ikan. Terlepas dari nilai agama yang menentukan benar atau tidaknya kegiatan ini, larung laut biasa dilaksanakan bertepatan dengan momen-momen tertentu misalnya syawalan. Nelayan di daerah Demak, Jawa tengah, biasanya melakukan ritual ini pada awal bulan syawal. Larung laut juga dilaksanakan di Marunda Kepu, Jakarta Utara, dimana sebuah hiasan miniatur kapal yang berisikan sesajian dengan satu ekor kepala kerbau serta bagian dalamnya,cerutu,telor ayam kampung,bubur merah putih,kembang tuju rupa,serta air yang sudah dicampur darah,dengan membakar kemeyan, merupakan persembahan warga untuk di larung ke tengah laut, sebelumnya sajian yang dilarungkan dibacakan do'a. Selain larung laut, ada juga kebiasaan masyarakat Bajo yang melibatkan pemimpin adat ketika memulai musim tangkap baru yaitu dengan melakukan ritual-ritual di laut. 

 Warisan turun-temurun dari nenek moyang turut membentuk kebiasaan masyarakat dalam menangkap ikan. Hal paling mudah dijumpai adalah adanya mitos mengenai hantu laut, larangan melaut saat menjumpai hiu paus (whale shark), dan larangan menangkap penyu. Mitos hantu laut banyak ditemui di hampir semua wilayah di Indonesia. Di Sibolga pernah dijumpai nelayan yang mengaku menjumpai penampakan hantu laut, akibatnya setelah itu dia sakit. Beberapa tahun kemudian nelayan tersebut sembuh dan kembali melaut setelah di”dukun”kan. Sedangkan kejadian serupa pernah dijumpai di Solor Timur, terutama di desa Watobuku dan Moton Wutun yang menyebutkan penampakan sering dijumpai di sekitar Tanjung Naga, apalagi di daerah tersebut terdapat Pulau Sewanggi. Sewanggi sendiri artinya adalah “setan”. Penampakan yang sering terlihat disana adalah kapal hantu, jenazah palsu, lampu-lampu setan, dan kabut tebal. Larangan melaut apabila menjumpai hiu paus (whale shark) dijumpai pada saat survey shark study di daerah Cirebon dan Muara Baru. Kepercayaan kemunculan whale shark merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke darat, masih kental. Larangan menangkap penyu karena dipercaya akan sakit bagi penangkapnya dijumpai di daerah Banggai Kepulauan. 

Begitu beragam keunikan dan kekhasan adat istiadat masyarakat Indonesia khususnya terkait dengan penangkapan ikan. Konservasionist diuntungkan dengan adanya mitos atau adat istiadat yang menyebutkan secara tidak langsung perlindungan terhadap spesies tertentu (penyu misalnya). Oleh karena adanya kepercayaan tersebut, paling tidak masyarakat akan menghindari untuk menangkap spesies tersebut. (Achmad Mustofa

Sumber : Pengalaman share dan diskusi dengan nelayan di sela-sela penggalian data (http://fotokita.net/cerita/100814034205_7842874/larung-laut-warga-marunda-kepu)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IOTC Mengadopsi Proposal Pengelolaan Rumpon Apung

Kantong Plastik oh Kantong Plastik..

Badan Hiu Dicampakkan Begitu Saja setelah Siripnya Dipotong